Entah telah berapa Maulid yang kulewatkan. Mungkin hanya satu dua yang berkesan. Kesan yang mungkin jauh dari substansi kesyukuran akan eksistensimu Muhammad.
Kesan yang lebih kental misi mendapatkan bambu berhias kertas warna warni. Yang sebenarnya bukan itu intinya, tapi sebiji telur yang tergantung di ujungnya.
Kenangan itu, saat kami yang anak-anak tak hentinya memandangi batang pisang di dalam masjid. Tak sabar menunggu acara doa selesai. Saat tiba masa dimana semuanya larut berebut sajian yang ditancap rapi.
Hingga kemarin, Maulid bagiku tak lebih dari itu. Sedikit pelengkap pada argumen kosong tentang hari kelahiran nabi terbesar sepanjang sejarah. Cukup sampai disitu.
Di kemudian hari, saat entah roh dari mana menyusupi. Saat keilmuan serasa begitu nikmat. Ketika rasanya waktu terhenti untuk selamanya saat sedang mendiskusikan sesuatu.
Tiba-tiba bid’ah terbersit. Tentang stigma moderat dan sejumlah dalil yang tak hentinya dikupas. Perlahan ingin meruntuhkan kebahagiaan satu-satunya yang kupunya tentangmu Muhammad.
Tentang telur dan ketaksabaranku hendak mendapatkan yang paling banyak. Tentang dada membusung ku ketika menjadi peserta dengan raihan telur tertinggi.
Aku berontak tentunya. Itu harta ku satu-satunya yang kudapat dari kesan dirimu dulu. Apalagi yang tersisa? Jika kebahagiaanku itu harus diruntuhkan dengan bom bid’ah. Aku tak terima.